Skandal Impor Emas Diusut

Selasa, 15 Juni 2021 | 08:56:47 WIB
Skandal Impor Emas Diusuti Foto: ilustrasi internet

GENTAONLINE.COM -- Komisi III DPR mengungkap adanya skandal impor emas yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah yang dilakukan delapan perusahaan. Mereka diduga melakukan pencucian emas dan manipulasi agar lolos dari pajak. Hal itu terungkap dalam rapat kerja Komisi III dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Senin (14/6).

Ketua Komisi III DPR Herman Herry mengatakan, pihaknya akan segera membentuk panitia kerja (panja) penegakan hukum. "Apa yang disampaikan tadi tentang penyelewengan penerimaan negara, kami akan bentuk panja penegakan hukum," ujar Herman membacakan kesimpulan rapat kerja, Senin (14/6).

Komisi III, kata Herman, sudah mengirim surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menggelar rapat pembahasan masalah tersebut. Panja penegakan hukum juga akan mengundang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk mengklarifikasi dugaan penyelewengan penerimaan negara.

"Lagi-lagi penerimaan negara, manipulasi. Nah kami berharap Kejaksaan Agung tidak gentar untuk terus menyelidiki," ujar politikus PDI Perjuangan itu.

Awalnya, Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding mengungkap adanya pencucian emas yang dilakukan delapan perusahaan. Mereka adalah PT Jardin Traco Utama (JTU), PT Aneka Tambang (AT), PT Lotus Lingga Pratama (LLP), PT Royal Rafles Capital (RRC), PT Viola Davina (VD), PT PT Indo Karya Sukses (IKS), PT Karya Utama Putra Mandiri (KUPM), dan PT Bhumi Satu Inti (BSI).

Anggota Fraksi PAN itu menjelaskan, kedelapan perusahaan melakukan pencucian emas dari para penambang liar. Namun, seakan-akan emas itu diimpor dari Singapura.

"Ada data yang kita dapatkan dari Bea Cukai, ada delapan perusahaan yang terindikasi melakukan pencucian emas dari penambang-penambang liar yang punya potensi kerugian negara sampai Rp 293 miliar," ujar Sudding dalam rapat kerja tersebut.

Dia juga mengaku menerima aduan adanya mafia-mafia pertambangan di sejumlah wilayah, seperti di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Ia meminta agar Kejaksaan Agung menindak hal tersebut.

"Di mana mereka sudah memiliki IUP (izin usaha pertambangan), kemudian tiba-tiba dimunculkan HGB (hak guna bangunan) di atasnya. Saya kira ada unsur kerja sama antara aparat di BPN (Badan Pertanahan Nasional) dengan si pihak-pihak yang menerbitkan HGB," ujar Sudding.

Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan juga mengonfirmasi adanya permainan delapan perusahaan tersebut. Mereka disebut mengimpor emas lewat Bandara Soekarno-Hatta senilai Rp 47,1 triliun.

Dari laporan Direktur Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, importasi emas itu dikenakan bea masuk 0 persen. Padahal, seharusnya 5 persen.

"Ada indikasi ini perbuatan manipulasi Pak, pemalsuan, menginformasikan hal yang tidak benar, sehingga produk tidak dikenai bea impor, produk tidak dikenai pajak penghasilan impor," ujar Arteria.

Ia mengatakan, penyelewengan dilakukan lewat perubahan data emas ketika masuk Bandara Soekarno-Hatta. Emas yang dikirim dari Singapura berbentuk setengah jadi dan berlebel, diubah menjadi produk berlabel emas bongkahan.

"Ini semua emas biasa kita impor dari Singapura, ada perbedaan laporan ekspor dari negara Singapura ke petugas Bea Cukai, waktu masuk dari Singapura barangnya sudah benar HS-nya (harmonized system) 71081300. Artinya kode emas setengah jadi," ujar Arteria.

Menurut dia, setidaknya kerugian negara akibat tindakan itu mencapai Rp 2,9 triliun. "Saya minta (Kejakgung) juga periksa PT Aneka Tambang, dirutnya diperiksa, vice president-nya diperiksa. Mengapa? Setiap ada perdebatan di Bea Cukai datang itu Aneka Tambang mengatakan ini masih memang seperti itu sehingga biaya masuknya bisa 0 persen," ujar Arteria.

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti laporan Komisi III DPR tersebut. Ia mengeklaim, pihaknya akan berusaha menyelamatkan uang yang masuk ke negara lewat Bea Cukai. "Kita sudah memulainya Pak, maka mohon izin ada perkara Bea Cukai, kemudian perkara tertentu kami mengawasi untuk penerimaan," ujar Burhanuddin.

Ia juga akan menindaklanjuti delapan perusahaan yang diduga melakukan pencucian emas itu. Burhanuddin berharap mendapat data yang cukup. "Insya Allah apa yang Bapak sampaikan, syukur-syukur kalau kami punya data yang agak lengkap yang delapan perusahaan itu," ujar dia.

'Kejakgung tak Lagi Murni Menegakkan Hukum'

Komisi III DPR juga memanfaatkan kesempatan rapat kerja dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin untuk menyampaikan keluhan masyarakat terhadap penegakan hukum. Anggota Komisi III Arsul Sani melihat adanya disparitas atau perbedaan dalam penanganan perkara orang-orang yang berada di luar pemerintahan.

Publik bahkan mengesankan Kejaksaan Agung kini telah menjadi alat bagi penguasa. "Kejaksaan Agung juga dalam tanda kutip tidak lagi murni menjadi alat negara yang melakukan penegakan hukum, tetapi juga menjadi alat kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum," ujar Arsul dalam rapat kerja, Senin (14/6).

Arsul melihat hal tersebut terjadi kepada mantan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) dan petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan. Perkara keduanya dituntut maksimal oleh kejaksaan. "Tuntutannya beda kalau yang melakukan adalah bukan orang-orang yang dalam tanda kutip posisi politiknya berseberangan dengan pemerintah atau dengan penguasa," ujar Arsul.

Ia meminta penjelasan Kejakgung ihwal penanganan perkara terhadap pihak-pihak yang kerap disebut sebagai oposisi. Di tengah sikap lembaga yang dipimpin oleh Burhanuddin dalam menerapkan restorative justice.

"Ini jadi kritik yang cukup luas di masyarakat. Apalagi kemudian kritik ini dikaitkan misalnya dengan vonis yang dijatuhkan. Perkara Syahganda Nainggolan setahu saya dituntut enam tahun, tetapi divonisnya 10 bulan," ujar Wakil Ketua Umum PPP itu.

Syahganda terjerat dalam kasus menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan terkait omnibus law Undang-Undang tentang Cipta Kerja. Sementara, Habib Rizieq dituntut enam tahun dalam perkara tes usap Covid-19 di RS UMMI Bogor. HRS juga telah divonis dalam kasus kerumunan di Petambuaran, Jakarta dan Megamendung, Bogor.

Anggota Komisi III dari Fraksi PKS Achmad Dimyati Natakusumah menilai keadilan restoratif dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 itu harusnya juga diterapkan dalam kasus HRS. "Kasus-kasus seperti Habib Rizieq itu tidak perlu berlebihan juga. Harusnya bisa dikaitkan dengan restorative justice tadi," ujar Dimyati.

Peraturan itu bisa diterapkan untuk menutup kasus HRS. Sebab, publik menilai adanya ketidakadilan penanganan hukum terhadap pihak-pihak yang vokal mengkritik pemerintah. Namun, ia mengakui kasus HRS sudah telanjur berjalan di pengadilan dan sudah keluar vonisnya.

Dalam rapat ini, Jaksa Agung mengeklaim akan memperbaiki masukan itu. Ia meminta jajarannya tak lagi membuat disparitas penegakan hukum kepada pihak-pihak tertentu. "Agar nanti Jampidum tidak terjadi lagi disparitas, walaupun kami memberikan kewenangan ke daerah. Tetapi pengawasan ada tetap pada kita, jangan sampai ada disparitas lagi," ujar Burhanuddin.

Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, terdapat sejumlah syarat dalam menerapkan asas keadilan restoratif dalam suatu kasus pidana umum. Di antaranya, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dan ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun. Per Juli-November 2020, perkara yang diselesaikan dengan aturan tersebut berjumlah 300 kasus. (rep)

Tulis Komentar