Dugaan Human Trafficking

Kasus Sengketa bayi di Riau, Oknum Pengacara Minta Tebusan Uang Rp 100 juta

Sabtu, 20 Februari 2021 | 11:22:58 WIB
Kasus Sengketa bayi di Riau, Oknum Pengacara Minta Tebusan Uang Rp 100 jutai Foto: Ketua Komnas PA Riau, Dewi Arisanty

Pekanbaru- Mediasi di Denpom TNI jalan Ahmad Yani Pekanbaru antara pihak KR ibu biologis anak dengan oknum pengacara perwakilan orang tua asuh bayi bapak Dedy Syahputra gagal menemui kata kesepakatan. 

Mediasi di Denpom dilakukan mengingat bidan tempat melahirkan bayi merupakan istri dari anggota TNI diwilayah Pekanbaru. 

Jalan buntu terjadi ketika sang pengacara meminta biaya Rp 100 juta sebagai tebusan perawatan bayi selama dua bulan. 

KR ibu biologis bayi meneteskan air mata ketika mendengar biaya yang diminta pengacara diluar kemampuan ekonominya yang tidak memadai. 

"Sampai hati mereka meminta uang sebanyak itu," kata KR sambil meneteskan airmata. 

Ketua Komnas Perlindungan Anak Riau (Komnas PA), Dewi Arisanty mengatakan bahwa sikaf kesewenangan pihak Dedy Syahputra dan bidan mencerminkan prilaku tidak manusiawi. 

"Mereka bisa dijerat UU Perlindungan anak" kata Dewi. 

Menurut Dewi pihak oknum pengacara justru menantang agar masalah ini diselesaikan secara hukum. 

"Jika korban tidak bisa memberikan uang Rp 100juta , oknum pengacara memita pihak korban menempuh jalur hukum" tambah Dewi. 

Sebagaimana diketahui sebelumnya Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Riau, mengungkap kasus kejahatan perdagangan orang (human trafficking) berupa penjualan bayi di Pekanbaru. 

Kasus ini diduga melibatkan oknum bidan (DN)  pemilik klinik di kawasan simpang tiga, kuat dugaan praktek kejahatan perdagangan anak sudah berlangsung lama. 

Menurut sumber Ketua Komnas PA Riau, Dewi Arisanty bahwa pihaknya tengah menggali informasi kepada korban. 

Salah seorang diantaranya KR bayinya diambil hingga tidak jelas keberadaan nya hingga sekarang. 

Menurut Dewi pada awalnya KR (korban) meminta tolong kepada salah satu oknum bidan (DN), karna dasarnya untuk menutupi aib keluarga, untuk mencarikan orang tua sambung dari bayi si KR, pada saat itu KR ke rumah bidan saat usia kandungannya 6 bulan.

Bidan bilang nanti dicarikan jangan banyak pikiran, lalu KR diberikan obat dan susu untuk ibu hamil.

Setelah usia kandungan 8 bulan oknum bidan mengajak KR untuk USG di salah satu rumah sakit, bidan bilang belum ada yang mau cari anak bayi.

Awalnya dia bilang ada TNI Medan yang mau ambil si anak lalu setelah itu dia bilang TNI nya cerai dan belum ada yang mau ambil si anak ini.

Pada tanggal 23 Desember 2020 KR melahirkan anak laki laki, keesokan harinya di tanggal 24 Desember KR di beri uang pemulihan senilai Rp 3 juta, uang BPJS Rp 500 ribu uang baju anak Rp 500 ribu (KR membelikan baju anaknya, uangnya di kembalikan) jadi total Rp 4 juta. 

KR sama sekali tidak mengetahui apa maksudnya, setelah 5 hari KR menanyakan siapa orang tua sambung si anak, karna KR lihat dari Google salah satu untuk mengambil anak harus di pertemukan orang tua sambung dan biologisnya. 

Lantas KR bertanya dengan bidan KR dimaki dan dimintai uang yang pernah di berikan, jika uangnya di kembalikan anaknya pun di kembalikan ke KR .

Setelah KR selesai dari masa pemulihan KR pun menemui bidan untuk minta di pertemukan si orang tua sambung dan anak, tapi bidan tersebut tidak mau dengan alasan nggak tau dengan siapa dan dimana anak tersebut sekarang. 

"kami ingin meluruskan bahwa penjualan/perdagangan anak dan adopsi ilegal merupakan dua hal yang berbeda, " kata Dewi. 

Menurut Dewi adopsi anak secara ilegal terjadi apabila pengangkatan anak itu tidak dilengkapi surat-surat yang sah, yakni tidak disertai permohonan pengangkatan anak ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Perlindungan Anak 2014 “UU Perlindungan Anak”.
 
Jika tidak dilakukan sesuai dengan prosedur hukum, maka adopsi itu disebut sebagai adopsi ilegal. 

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan anak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 76F UU Perlindungan Anak.

Ketentuan sanksinya dapat kita lihat dalam Pasal 83 UU Perlindungan Anak yang berbunyi:
 
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).” tegas Dewi. 

Dalam hal ini Komnas PA Riau, mendesak dinas sosial provinsi Riau untuk terlebih dahulu melakukan mediasi dengan pihak terkait. 

"Segera masalah ini dilakukan upaya mediasi terlebih hulu, sebelum masuk unsur pidananya" tambah Dewi. 

KR, saat ditemui di jalan Arifin Ahmad mengatakan bahwa dirinya saat ini mengaku trauma atas kehilangan bayi laki laki yang diberi nama Fawas Mubarok

"Saat ini saya ingin bayi saya dikembalikan," sambil memperlihatkan foto bayinya ke Media. 

Di empat terpisah Karmina Dewi ketua IBI Pekanbaru saat dikonfirmasi mengatakan bahwa pihaknya sudah mendengar informasi perdagangan bayi yang melibatkan oknum anggota IBI. 

"Masih menunggu info dari dinsos provinsi, "katanya. 

Ditanyakan kepada Karmia , apa sanksi jika anggota IBI terlihat. 

"Bisa saja berupa sanksi kode etik, hingga pencabutan KTA" tegasnya.


(Red) 

Tulis Komentar