Pemerintah Buka Alasan BI Tak Bisa Cetak Uang Sembarangan

Jumat, 10 Juli 2020 | 08:36:50 WIB
Pemerintah Buka Alasan BI Tak Bisa Cetak Uang Sembarangani Foto: ilustrasi internet

GENTAONLINE.COM -- Pemerintah menilai Bank Indonesia (BI) tidak bisa ujug-ujug mencetak uang dalam jumlah banyak seperti Amerika Serikat walau ekonomi sedang tertekan pandemi virus corona atau covid-19. Sebab, ada perbedaan permintaan rupiah dan dolar AS, meski masing-masing negara tengah membutuhkan sumber dana besar untuk menangani masalah tersebut.

Tenaga Ahli Utama Deputi III Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono menjelaskan AS bisa leluasa mencetak uang karena penggunaan dolar AS sejatinya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan transaksi dan pendanaan di Negeri Paman Sam saja. Dolar AS merupakan mata uang internasional yang digunakan untuk berbagai jenis transaksi lintas negara.

"Jadi berapa pun AS cetak dolar, meski tetap ada batasnya, itu tidak ada pengaruhnya ke inflasi di AS di dalam situasi normal karena permintaan dolar itu banyak sekali. Orang mau impor pakai dolar," ungkap Edy dalam diskusi virtual yang digelar ISEI Jawa Barat, Kamis (9/7).

Sementara bila BI mencetak rupiah terlalu banyak, sambungnya, yang terjadi justru bisa memunculkan inflasi atau kenaikan harga barang. Sebab, jumlah uang yang beredar meningkat dan bisa menurunkan nilai rupiah.

Belum lagi, permintaan rupiah sejatinya tidak cukup besar karena hanya bisa digunakan untuk transaksi di dalam negeri. Lebih lanjut, menurut Edy, BI juga tidak bisa mencetak uang lalu dibagikan begitu saja ke masyarakat atau dikenal dengan istilah helicopter money.

"Helicopter money dalam arti cetak uang terus dibagi-bagikan, ini akan menimbulkan masalah tersendiri, bukan hanya inflasi, tapi nanti siapa yang mau dikasih, berapa dikasihnya, dan sebagainya," katanya.

Edy mengatakan bila negara membutuhkan peran bank sentral nasional untuk ikut menanggung besarnya kebutuhan biaya penanganan dampak corona, hal yang paling wajar dilakukan adalah membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pemerintah di pasar perdana. Dengan begitu, kapasitas penyerapan surat utang dari BI lebih besar daripada hanya di pasar sekunder.

Hal ini pun sudah bisa dilakukan sejalan dengan persetujuan negara melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU.

"Jadi uang dari BI masuk ke pemerintah melalui pembelian SBN lalui ditransfusikan ke kebijakan fiskal baik melalui program sosial maupun stimulus dunia usaha," ujarnya.

Senada, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Oskar Vitriano mengatakan BI tak bisa asal mencetak uang seperti AS karena ada perbedaan kondisi dari kedua pihak. Hal yang paling benar adalah BI membeli SBN dari pemerintah, meski harus membuat pemerintah menambah utang.

"Lebih baik menjadi utang, utang ini tidak apa asal untuk tujuan produktif. Jepang dan AS bahkan utangnya melebihi PDB mereka, Indonesia belum sampai ke sana," katanya.

Tulis Komentar