Sebut Tidak Aman, Tiba-tiba SBY Bicara Utang RI di Era Jokowi

Sabtu, 09 Januari 2021 | 09:32:12 WIB
Sebut Tidak Aman, Tiba-tiba SBY Bicara Utang RI di Era Jokowii Foto:

GENTAONLINE.COM - Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti melonjaknya utang RI, yang saat ini difokuskan untuk menangani Covid-19 dan pemulihan ekonomi.

Presiden RI ke-6 itu mengatakan, pemulihan ekonomi bisa didorong dengan meningkatkan permintaan. Tujuannya untuk menggerakan kembali aktivitas dunia usaha dan investasi yang mandek. Diakui, SBY untuk melakukan itu memang membutuhkan proses dan tidak bisa kilat. 

Kendati demikian, dia memandang pentingnya untuk bisa melakukan proses yang tidak bisa begitu saja datang. Perlu kebersamaan dan upaya terpadu antara pemerintah dan dunia usaha dan masyarakat luas.

"Tantangan utama yang bakal dihadapi oleh pemerintah adalah bagaimana fiskal dan APBN kita bisa dikelola dengan baik. Juga bagaimana utang Indonesia dapat dikontrol secara ketat dan serius," ujar SBY dalam akun media sosial Facebook resmi miliknya yang dikutip CNBC Indonesia, Jumat (8/1/2021).

"Utang yang ada menurut saya sudah sangat tinggi dan karenanya tidak aman. Persoalannya bukan hanya meningkatnya rasio utang terhadap PDB Indonesia, tetapi yang berat adalah utang yang besar itu sangat membebani APBN kita. Membatasi ruang gerak ekonomi kita," kata SBY lanjutkan. 

Untuk diketahui, data Kementerian Keuangan mencatat pada APBN 2020 pembiayaan yang berasal dari utang baru yang mencapai Rp 1.226,8 triliun. Utang tersebut naik lebih dari tiga kali lipat atau tumbuh 180,4% dari realisasi pembiayaan utang pada 2019 yang hanya mencapai Rp 437,5 triliun. 

Penarikan utang baru itu juga jauh lebih besar dari target dalam APBN 2020 yang sebesar Rp 351,9 triliun. Namun masih dalam rentang yang diproyeksikan dalam Perpres 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1.220,5 triliun.

"Betapa beratnya ekonomi kita jika misalnya 40% lebih belanja negara harus dikeluarkan untuk membayar cicilan dan bunga utang. [...] Jadi, jangan hanya berlindung pada persentase debt-to-GDP ratio yang dianggap masih aman dan diperbolehkan undang-undang. Bukan disitu persoalannya," ujar SBY.

Menurut SBY persoalannya terletak pada kemampuan pemerintah untuk membayar utang tersebut yang dirasakan sudah sangat mencekik. 

SBY berpendapat permasalahan utang yang sangat serius itu secara bertahap bisa diatasi. Caranya menurut dia dengan mengurangi defisit anggaran. 

"Kalau tahu penerimaan negara jauh berkurang, karena pemasukan dari pajak juga terjun bebas, ya kendalikan pembelanjaan negara. Pemerintah harus sangat disiplin dan harus berani menunda proyek dan pengadaan strategis yang masih bisa ditunda," tuturnya.

SBY juga menyinggung perekonomian Indonesia pada 1960. Kala itu ekonomi Indonesia dinilai sebagai titik terendah, karena pemerintah tidak pandai mengontrol pembelanjaan yang kelewat tinggi atau bisa diibaratkan 'besar pasak daripada tiang'. 

Oleh karena itu, menurut SBY pemerintah harus disiplin dan tetap mengatur keuangan negara dan harus bisa mengendalikan ekonomi agar ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang bisa diselamatkan.

"Pemimpin dan pemerintahan yang bijaksana tentu tidak akan mewariskan masalah dan beban yang sangat berlebihan kepada pemerintahan-pemerintahan berikutnya," ujarnya.

Pada Rabu (6/1/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan defisit APBN 2020 realisasinya lebih rendah dari yang ditargetkan dalam Perpres 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1.039,2 triliun atau 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB)

/ "Defisit dari APBN 2020 mencapai Rp 956,3 triliun,lebih kecil dari Perpres 72 yang tadinya defisit Rp 1.039,2 triliun," jelas Sri Mulyani saat melakukan konferensi pers virtual, Rabu (6/1/2021).

Defisit anggaran terjadi lantaran penerimaan negara yang jauh lebih rendah dari belanja negara. Di mana penerimaan negara pada 2020 sebesar Rp 1.633 triliun dan belanja negara mencapai Rp 2.589 triliun.(CNBC)

Tulis Komentar