Korban-korban PJJ, Buah Simalakama Pendidikan di Masa Pandemi

Jumat, 30 Oktober 2020 | 12:20:34 WIB
Korban-korban PJJ, Buah Simalakama Pendidikan di Masa Pandemii Foto: Siswi SDN 01 Pagi Bukit Duri, Keysha (8) menjalankan proses belajar daring bersama ibunya, di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Rabu, 12 Agustus 2020.

GENTAONLINE.COM - Memasuki bulan kedelapan pandemi Covid-19 di Indonesia, sebagian besar sekolah masih melakukan kegiatan belajar di rumah mengikuti arahan pemerintah yang disebut pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Meski telah cukup lama menerapkan PJJ kendala masih kerap didapati di lapangan. Utamanya terkait fasilitas, jaringan, sampai keadaan psikologis siswa, guru, maupun orang tua.

Survei yang dilakukan Wahana Visi Indonesia terhadap 27.046 guru di 34 provinsi menunjukkan guru masih menghadapi berbagai kendala dan membutuhkan dukungan lebih untuk menjalankan pendidikan di tengah pandemi.

Sebanyak 43 persen guru mengaku perlu meningkatkan kompetensi dalam manajemen pendidikan di masa darurat, 43 persen kurang memahami metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, dan 33 persen butuh dukungan psikososial untuk diri sendiri dan siswa.

Sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sempat menyinggung bahwa PJJ punya banyak dampak buruk terhadap siswa yang bisa melekat secara permanen. Yang paling ia khawatirkan adalah potensi ancaman putus sekolah dan tekanan psikologis.

"Risiko psikososial anak karena stres di dalam rumah, tidak bisa keluar, dan tidak bertemu teman," katanya, Jumat (7/8).

Pada salah satu kasus di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, seorang siswa dengan inisial MI dinyatakan meninggal dunia karena meminum racun. Aparat kepolisian menduga siswa itu stress oleh beban tugas dan jaringan internet yang menyulitkan PJJ .

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan menyelidiki motif bunuh diri MI dengan memeriksa kepala sekolah dan guru yang mengajar MI.

"Pemeriksaan untuk membuktikan apakah proses pembelajaran jarak jauh di sekolah tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dalam SE 15/2020 yang dikeluarkan oleh Kemdikbud," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti, Kamis (22/10).

Kepada teman sebayanya, korban kerap menceritakan permasalahan mengenai tekanan banyaknya tugas yang diterima dari sekolah. Ia bercerita di rumah proses belajar kerap bermasalah karena akses internet yang sulit didapat, sehingga tugas kian menumpuk.

Aparat kepolisian masih mendalami kasus ini. Sedangkan Dinas Pendidikan menduga juga ada motif asmara dari kasus bunuh diri MI. Retno mengamini motif bunuh diri umumnya tidak tunggal. Namun jika ada bukti beban PJJ jadi pemicu kasus, menurutnya harus ada tindak lanjut yang tegas.

Ini bukan pertama kali pembelajaran di tengah pandemi menelan korban. Pada September lalu, seorang siswa kelas 1 SD, KS (8) di Lebak, Banten, dilaporkan meninggal dunia karena dianiaya ibunya LH (26).

Aparat kepolisian mengungkap motif pembunuhan LH dipicu kekesalan karena sang anak sulit diajari ketika belajar daring. Buntutnya ia kerap memukuli tubuh KS dengan tangan, gagang sapu, hingga mendorong korban sampai kepalanya terbentur lantai.

Kedua orang tua KS hendak membawanya ke rumah sakit ketika terkapar lemas setelah didorong. Namun di tengah perjalanan ia tak bisa diselamatkan. Lantaran panik, korban dibawa ke TPU Gunung Keneng dan dimakamkan dengan pakaian lengkap.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai peran guru bimbingan konseling seharusnya diutamakan untuk mencegah dan menanggulangi dampak buruk PJJ terhadap psikologis anak.

Namun, menurutnya, hal ini belum maksimal dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun institusi pendidikan selama tujuh bulan terakhir.

"Yang sudah mulai dilakukan pemerintah [membantu] soal kapasitas guru dalam pembelajaran daring, penyederhanaan kurikulum, penguatan sarana prasarana internet. Tapi untuk problem psikologis belum," katanya kepada Gentaonline.com melalui sambungan telepon, Sabtu (24/10).

Menurut pantauan Ubaid, masih banyak sekolah yang memiliki guru bimbingan konseling dengan latar belakang bukan di bidang psikologi. Beberapa sekolah bahkan belum mempunyai guru bimbingan konseling.

Kalaupun memiliki guru bimbingan konseling yang mumpuni, lanjutnya, kebanyakan pendekatan psikologis baru dilakukan ketika siswa sudah mengalami permasalahan atau sudah menjadi korban.

Selain itu, Ubaid menyinggung sistem belajar jarak jauh yang umumnya fokus pada pemberian tugas. Serta pola pikir sekolah yang menilai siswa berdasarkan tugas-tugas yang diselesaikan.

"Ketika tugas terbengkalai yang terjadi biasanya pihak sekolah komplain ke orang tua, bahwa siswa tidak menjalankan tugas. Karena peran orang tua misalnya tidak mendampingi, maka orang tua menyalahkan anak," tuturnya.

Ia mengatakan dengan kondisi psikologis anak yang belum stabil karena usia, maka kasus depresi, melarikan diri dari rumah, hingga bunuh diri akhirnya jamak terjadi.

Anak Berkebutuhan Khusus

Kesulitan melakukan PJJ terlebih dirasakan sekolah dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Plt. Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Kemendikbud, Praptono menjelaskan partisipasi dan mutu pendidikan jadi dua isu besar yang dialami guru di sekolah ABK.

Menurut penemuannya, masih banyak siswa dengan disabilitas yang belum mendapat akses pendidikan di sekolah umum atau sekolah luar biasa (SLB). Hal ini dikhawatirkan semakin masif di tengah pandemi.

Perkara mutu pendidikan, ada tiga hambatan yang umum dihadapi oleh para guru anak berkebutuhan khusus. Yakni terkait komunikasi, sosial dan intelektual. Dalam hal ini guru harus berupaya ekstra untuk menjalankan proses belajar.

"Tidak bisa melakukan pembelajaran tatap muka semakin memperbesar hambatan komunikasi dari penyandang disabilitas," ungkapnya.

Praptono menyarankan orang tua atau pengasuh menjalankan peran sebagai pendamping guru dalam mengkomunikasikan konten belajar. Dalam hal ini, komunikasi antara guru dan orang tua menjadi penting.

Terkait hambatan sosial, sambungnya, guru sering kesulitan untuk memastikan anak berkebutuhan khusus mau belajar dengan perbedaan jarak selama PJJ. Kendala ini kemudian mendorong keterampilan guru untuk terus diasah.

Untuk menanggulanginya, Praptono mengupayakan program kekhususan kepada guru. Program ini mengajarkan konsep dasar pengembangan bagi anak dengan hambatan disabilitas fisik maupun mental dan intelektual.

Meskipun pemerintah sudah mengizinkan pembukaan sekolah di zona hijau dan kuning, ada ragam tahapan yang harus dilalui sebelum siswa bisa belajar seperti situasi sebelum wabah.

Sekolah harus bisa memastikan protokol kesehatan diterapkan dengan baik, juga harus mendapat izin dari pemerintah daerah, komite sekolah, sampai orang tua siswa.

Kemendikbud mencatat 43 persen siswa berada di zona hijau dan kuning. 57 persen lainnya berada di zona merah dan oranye.

Menteri Nadiem mengatakan sebagian besar sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) berada di zona hijau dan kuning.

"88 persen daerah 3T di Indonesia yang sangat sulit melakukan PJJ itu ada di zona kuning dan hijau," tuturnya melalui rekaman video, Sabtu (8/8).

Namun sekolah yang dibuka tak lama setelah kebijakan pembelajaran tatap muka diumumkan hanya berjumlah 1.410 sekolah, 1.063 sekolah di zona kuning dan 347 di zona hijau.

Sebanyak 774 sekolah lain juga didapati melakukan kegiatan belajar tatap muka, namun berada di zona oranye dan merah yang sesungguhnya dilarang. Menurut Data Pokok Pendidikan jumlah sekolah di Indonesia mencapai 434.531 sekolah.(cnn)

Tulis Komentar