Pilkades Serentak Dalam Demokrasi (Oleh: Syahdi, SH) Pemerhati Hukum Tata Negara

Rabu, 04 September 2019 | 23:26:47 WIB
Pilkades Serentak Dalam Demokrasi (Oleh: Syahdi, SH) Pemerhati Hukum Tata Negarai Foto: Pemerhati Hukum Tata Negara, Syahdi SH

PENYELENGGARAAN Pemilihan Kepala Desa secara langsung dan serentak atau yang lazim disebut Pilkades relatif masih baru dilaksanakan dalam demokrasi Indonesia, mungkin saja ide-ide ke arah itu yaitu Pilkades langsung dan serentak telah mendahului daripada implementasinya secara konkret dalam lapangan praktis.

Sebelumnya kepala desa hanya dipilih secara langsung oleh masyarakat dan tidak dilaksanakan secara serentak. Sebelum kita bicara lebih luas tentang Pilkades langsung dan serentak ini perlu dikemukakan disini dasar hukum yang menjadi patokan dan tolok ukur analisa dalam penyelenggaraan Pilkades secara langsung dan serentak ini meliputi:

UUD Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 128/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya merupakan judicial review atas beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.

Ada alasan lain bagi saya menempatkan putusan Mahkamah Konstitusi diatas permendagri dalam penomoran diatas. Secara prinsipil ada perbedaan yang sangat mendasar antara putusan Mahkamah Konstitusi atau putusan pengadilan dengan peraturan menteri dalam negeri (permendagri) maupun peraturan lain seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, termasuk Peraturan Desa.

Perbedaannya adalah, Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi atau putusan pengadilan itu tidak termasuk kedalam kategori peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan itu dilihat dari segi subjek/lembaga yang membentuknya bukanlah produk politik, melainkan merupakan produk hukum sebab dibentuk oleh lembaga hukum/penegak hukum. Putusan pengadilan yang saya maksud disini adalah putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap  atau inkraht van gewijsde.

Adapun putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap tidak relevan dijadikan objek studi ilmiah. Tidak hanya putusan pengadilan yang tidak termasuk kedalam kategori peraturan perundang-undangan, tetapi semua keputusan administratif juga bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan. 

Keputusan administratif itu misalnya Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa dan semua keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga atau komisi-komisi negara lainnya.

Karena itu jugalah maka bilamana terdapat kebijakan yang berupa keputusan administratif yang merugikan kepentingan umum, atau subjek hukum tertentu maka tempat mengujinya adalah di Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi Negeri atau Mahkamah Agung. Apalagi di pengadilan perdata, jelas sangat jauh tidak ada relevansinya sama sekali.

Pengadilan Tata Usaha Negara juga disebut sebagai Pengadilan Administrasi yang hanya mengurusi persoalan administrasi yang melibatkan pejabat tata usaha negara.

Adapun putusan Mahkamah Konstitusi secara struktural-institusional bilamana merugikan kepentingan umum atau pihak baik secara individual maupun secara kolektif merasa dirugikan maka tidak tersedia tempat untuk mengujinya.

Sebab Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan tunggal dan hanya mengurusi persoalan ketatanegaraan. Tidak seperti putusan pengadilan pada umumnya dapat diajukan perlawanan, atau pengujian berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali.

Kedua, alasan berikutnya mengapa saya meletakkan putusan Mahkamah Konstitusi diatas peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah dari undang-undang, sebab sekali Mahkamah Konstitusi menjatuhkan vonnis (putusan) maka putusannya itu langsung inkraht van gewijsde.

Karena itu kekuatan hukum mengikatnya sama kuatnya dengan undang-undang, dimana semua kebijakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Maka dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi pun tidak boleh ada peraturan perundang-undangan maupun kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. (tentang hal ini dapat dibaca lebih lanjut dalam tulisan saya “Memahami Peraturan Perundang-Undangan”, “Perihal Ilmu Undang-Undang”, “Perihal Putusan Pengadilan”).

Pilkades secara langsung dan serentak ini praktis baru dapat diselenggarakan sejak tahun 2017 dan tahun-tahun berikutnya selama tidak ada perubahan sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 128/PUU-XIII/2015 dan Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.

Tetapi ternyata sudah ada daerah yang menyelenggarakan Pilkades pada tahun 2016, padahal putusan Mahkamah Konstitusi baru dibacakan pada Selasa, 23 agustus 2016. Sedangkan Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa ditetapkan pada 02 Agustus 2017.

Saya menduga, penyelenggaraan Pilkades di tahun 2016 mutlak hanya mengacu kepada putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 128/PUU-XIII/2015. Padahal, putusan pengujian undang-undang tetap memerlukan peraturan pelaksana agar teknis penyelenggaraan Pilkades dapat diselenggarakan dengan sejelas-jelasnya.

Saya menilai bahwa salah satu motivasi yang paling mendasari paradigma pembentuk undang-undang mengambil kebijakan penyelenggaraan Pilkades secara langsung dan serentak ini dilatabelakangi oleh penyelenggaraan Pemilu secara langsung dan serentak, yakni Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Juga dipengaruhi oleh penyelenggaraan Pilkada secara langsung dan serentak di seleuruh Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Pemilu secara langsung dan serentak ini untuk pertama kalinya dalam sejarah di Indonesia diselenggarakan pada 17 April 2019 dan Pilkada secara langsung dan serentak pertama kali diselenggarakan pada 2018.

Walaupun untuk konteks Pilkada mungkin juga Pilkades pemahaman dipilih secara langsung dan serentak itu dilaksanakan secara bertahap, jadi tidak secara sekaligus seluruh Indonesia.

Diantara sebabnya adalah masa jabatan kepala daerah yang habisnya berbeda antar satu daerah dengan daerah lain, demikian juga masa jabatan kepala desa habisnya berbeda dengan desa-desa lainnya.

Tantangan Penyelenggaraan Pilkades secara langsung dan serentak. Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Kepala Daerah walaupun tidak serumit Pilkades secara langsung dan serentak tetapi cukup menguras energi.

Pertama kita ketahui bahwa jumlah desa atau yang disebut dengan nama lain seperti gampong, kampung, distrik, pekon, nagari, nagori, lembah, dusun yang selanjutnya disejajarkan dengan desa, secara keseluruhan jumlahnya sebanyak 41. 591 desa (sumber: wikipedia).

Praktis tentunya penyelenggaraan Pilkades secara langsung dan serentak menjadi tanggung jawab tiap-tiap kabupaten/kota.

Oleh karena habisnya masa jabatan kepala desa di tiap-tiap desa berbeda, maka akan kita jumpai di suatu kabupaten dalam periode tertentu penyelenggaraan Pilkades di wilayahnya hanya ada di beberapa desa saja, bisa saja lebih banyak ataupun lebih sedikit dibandingkan dengan Pilkades di wilayah kabupaten/kota lainnya.

Tantangan lainnya yaitu terkait dengan kemampuan keuangan daerah, tentunya penyelenggaraan Pilkades ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Jangan karena ingin menegakkan semangat efisiensi malah berdampak tidak efektifnya penyelenggaraan Pilkades, atau jika terlalu royal dapat pula berdampak pada ketersediaan pos-pos anggaran di bidang lainnya yang mungkin turut tertarik sehingga mengakibatkan defisit anggaran.

Selain itu juga terkait dengan potensi konflik, ini juga tidak dapat di pandang remeh. Kerena itu pengamanan penyelenggaran Pilkades juga harus diperhatikan oleh stake holder terkait.

Tantangan yang paling krusial dalam penyelenggaraan Pilkades dengan model secara langsung dan serentak ini menurut saya terjadi dalam tataran regulasi.

Walaupun telah ada permendagri yang menjadi dasar penyelenggaraannya teknis pelaksanaannya tetap masih perlu diatur dalam peraturan daerah atau setidak-tidaknya peraturan kepala daerah.

Apalagi yang menyangkut tentang penganggaran, berapa besaran biaya yang dibutuhkan, bagaimana control mechanism penyelenggaran Pilkades dan lain sebagainya.

Soal regulasi misalnya andai dituangkan lebih lanjut dalam peraturan daerah, kondisi sekarang ini legal drafter perda khususnya di tiap daerah masih tergolong minim, sehingga membutuhkan tenaga ahli di bidang legal drafter yang memadai untuk membantu “proyek” penyelenggaraan Pilkades ini.

Saya kurang sependapat dengan kebijakan menteri dalam negeri mengeluarkan Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa sebagai dasar bagi daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Pilkades.

Sebab bagaimanapun, penyelenggaraan Pilkades secara langsung dan serentak ini bersifat nasional walaupun praktik pelaksanaannya secara serentak dalam cakupan wilayah kabupaten/kota masing-masing. Akan lebih baik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah atau sekurang-kurangnya Peraturan Presiden.

Sehingga dengan demikian substansi yang diatur dalam Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 yang merupakan perubahan dari permendagri sebelumnya tentang Pilkades dapat dituangkan dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.

Dengan demikian akan lebih kuat legitimasinya, apalagi penjabaran atau pengaturan secara teknis penyelenggaraan Pilkades itu merupakan perintah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sedangkan peraturan pelaksana yang paling dekat dengan undang-undang adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.

Penyelenggaraan Pilkades di Riau
Pertama kalinya dan menjadi percontohan seluruh desa di Indonesia pemilihan kepala desa atau Pilkades secara langsung dan serentak diselenggarakan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah pada Ahad, 25 September 2016.

Sebanyak 11 desa sukses menggelar pemilihan kepala desa dengan menggunakan sistem e-voting dan e-verifikasi atau sistem komputer. Pilkades serentak ini kali pertama dan menjadi percontohan seluruh desa di Indonesia. 

Meskipun perdana di Indonesia, masyarakat mengaku tidak kesulitan memberikan hak pilihnya dengan menggunakan sistem elektronik atau komputer. Untuk di Riau dari berbagai informasi yang beredar Pilkades serentak akan dilaksanakan di beberapa kabupaten, yaitu diantaranya di Kabupaten Inhu, Inhil dan Bengkalis. 

Pada tahun 2019 ini Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) tengah mempersiapkan tahapan pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak 2019. Setidaknya ada 62 desa se-Kabupaten Inhu akan ikut melaksanakan Pilkades. Bahkan pada tahun ini, diagendakan pelaksanaan Pilkades dengan pola e-voting.

Sementara Pilkades serentak tahun 2018 lalu, hanya satu desa yang melaksanakan Pilkades dengan pola e-voting yakni di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida. Sementara itu Plt. Kepala Bagian (Kabag) Pemerintahan Desa (Pemdes) Supandi, S.Sos. MP mengatakan bahwa pelaksanaan Pilkades dengan pola e-voting di Kabupaten Inhu akan menjadi yang pertama di Provinsi Riau.

Dengan demikian proses penyelenggaraan Pilkades di Inhu akan mencontoh pula Pilkades di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah pada 2016 lalu. Sementara itu dikutip dari Tribun Tembilahan.com, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Inhil menjadwalkan penyelenggaraan Pilkades di 43 Desa pada 02 Oktober mendatang dan rencananya akan digelar sebanyak dua gelombang.

Sementara itu di Bengkalis, Pemerintah Kabupaten Bengkalis melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) telah merencanakan akan menyelenggarakan Pilkades serentak gelombang ke-III di 10 desa pada 30 Oktober tahun ini.

Kita tentunya menginginkan pemerintah kabupaten/kota dapat mengemban tanggung jawab ini agar para pemimpin desa yang terpilih benar-benar orang yang diharapkan oleh masyarakat di desanya, jangan ada money politic dan jangan sampai pemimpin desa yang terpilih dengan cara-cara curang.

Pemerintah Propinsi Riau juga harus mendorong dan ikut berpartisipasi membantu kabupaten/kota agar penyelenggaraan Pilkades serentak berjalan secara efektif, demokratis dan konstitusional yang menjadi harapan dan cita-cita kita semua.***

Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum UIR, sekaligus Pemerhati Hukum Tata Negara (HTN).

Tulis Komentar