Gelandangan dan Pengemis Apakah Orang Miskin ?

Ahad, 31 Maret 2019 | 23:04:57 WIB
Gelandangan dan Pengemis Apakah Orang Miskin ?i Foto:

GENTAONLINE.COM-Bicara perihal pengemis dan gelandangan, tentu bukan sesuatu yang baru,  terlebih di negara-negara berkembang. Negara berkembang menyumbang lebih dari 40% dari penduduk miskin dunia. Termasuklah sang ibu pertiwi. Namun, kabar baiknya, di Indonesia, garis kemiskinan sudah mengalami penurunan meski tidak begitu drastis. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)  jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 adalah 25,95 juta orang, semakin sedikit dari jumlah warga miskin pada September 2017, yaitu 26,58 juta orang. Nah apakah pengemis dan gelandangan termasuk orang miskin?

Dalam Peraturan Pemerintah, perbedaan pengemis dan gelandangan pun cukup signifikan. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain (Pasal 1 angka 2 PP 31/1980).

Berbeda dengan gelandangan yang berarti orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum (Pasal 1 angka 1 PP 31/1980).

Dari pengertian diatas, dapat kita simpulkan bahwa seorang pengemis tidak dapat di katakan miskin apabila belum menjadi gelandangan. Gelandangan belum tentu pengemis dan gelandangan sudah pasti miskin. Namun tidak semua gelandangan adalah tunawisma. Banyak anak-anak punk yang memilih untuk meninggalkan kediaman mereka dan berakhir menggelandang, begitu pula dengan kebanyakan orang gila yang bertaburan di jalan raya.

Banyak masalah yang akan di timbulkan apabila pengemis dan gelandangan tidak teratasi. Diantaranya masalah kependudukan, karena umumnya pengemis dan gelandangan tidak memiliki kartu identitas diri mereka sehingga keberadaan mereka tidak terdata oleh negara. Yang kedua masalah keamanan dan ketertiban, banyaknya pengemis dan gelandangan dapat memicu ketidakamanan, ketidaknyamanan dan merusak ketertiban suatu wilayah. Ketiga masalah kriminalitas, banyak sekali gelandangan-gelandangan yang berakhir mencuri, merampok, mencopet hingga melakukan kekerasan terhadap warga.

Pada tahun 2016 silam, di Rokan Hilir, Riau, seorang anak punk nekat menikam seorang sopir, biasanya hal ini terjadi apabila sopir-sopir tersebut menolak untuk memberikan tumpangan. Tindakan ini tentu sangat membahayakan sopir-sopir dan pengguna jalan lainnya. Di tempat yang sama belum lama ini juga terjadi cekcok antar anak punk yang menolak membayar setelah memesan makanan kepada seorang pedagang. Apalagi dengan penampilan yang menyeramkan dan tato di sekujur tubuh, tentu saja meresahkan warga.

Larangan untuk mengemis atau menggelandang sudah diatur dalam Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP buku ke-3 tentang Tindak Pidana Pelanggaran. (1) Barang siapa mengemis dimuka umum, di ancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu. (2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, di ancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (pasal 504 KUHP). Dan (1) Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, di ancam karena melakukan pergelandngan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (2) pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur diatas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. (pasal 505 KUHP).

Lantas apa yang menjadi alasan terkuat mengemis dan menggelandang ini dilarang? Sekretaris Umum MUI DKI Jakarta Samsul Ma'Arif mengatakan segala aktivitas itu haram dan di larang oleh agama karena berpotensi merugikan banyak orang dan menimbulkan kerawanan. Apapun alasannya, memberi uang kepada peminta-minta itu tidak dibenarkan. Maksudnya, tidak hanya meminta tapi memberi juga masuk di dalamnya.

Selain itu, hal lain yang menjadi alasan di larangnya seseorang mengemis dan memberi uang adalah karena tidak semua pengemis pantas diberikan uang. Beberapa dari mereka sengaja mengemis karena malas. Masih ingat Cahyono yang beberapa waktu lalu sempat viral karna penghasilannya sebagai pengemis mencapai Rp 300.000. per-hari? Bahkan berdasarkan penuturan pria muda ini ia pernah mendapatkan lebih dari Rp 500.000. Dengan memanfaatkan kekurangannya sebagai alat untuk mendapatkan empati, tentu Cahyono berpenghasilan besar. Dan ketika diperiksa ternyata ia memiliki tabungan sejumlah Rp 19 juta disebuah koperasi. Menurutnya, ia terpaksa mengemis untuk membantu ibunya.

Banyak program-program yang telah di ciptakan oleh pemerintah guna memberantas pengemis dan gelandangan. Di antaranya rumah singgah. Rumah singgh sebenarnya adalah sarana yang disiapkan sebagai perantara anak jalanan kepada orang yang ingin membantu mereka. Mereka diharapkan bisa mendapatkan hak-hak mereka sebagai anak bangsa, salah satunya mengenyam pendidikan. Pendidikan mereka memang non-formal, artinya mereka tidak langsung pergi kesekolah, melainkan diberi pelatihan keterampilan dan pengetahuan umum. Namun tidak menutup kemungkinan untuk dapat melanjutkannya kejenjang persekolahan.

Masalahnya, kebanyakan dari mereka hanya memanfaatkan rumah singgah sebagai tempat beristirahat sejenak. Jauh sekali dari visi dan misi rumah singgah itu awalnya dibuat. Begitu juga dengan peminatnya yang terbilang sedikit. Belum lagi di antara mereka ada yang memang diminta orangtuanya untuk mengemis dan mengamen, bagi mereka, tentu ekonomi jauh lebih penting ketimbang pendidikan.

Selain kewajiban pemerintah untuk bekerja keras dalam memberantas kemiskinan, tentu tidak terlepas dari kontribusi kita sebagai masyarakat yang berhadapan langsung dengan mereka. Apabila kita masih saja mengangin lalukan larangan untuk tidak memberikan uang kepada para pengemis dan gelandangan maka jangan harap Indonesia akan bebas dari kemiskinan. Karna seperti yang sama-sama kita lihat, berbagai kebijakan, peraturan, dan program-program pemerintah tidak menimbulkan efek kepada mereka. Cara satu-satunya adalah dengan tidak memberikan mereka penghasilan lagi dari mengemis, maka tentu saja mereka akan mencari pekerjaan lain untuk menghasilkan uang.

Memang bukanlah hal yang mudah untuk mengabaikan mereka para pengemis dan gelandangan yang sifatnya memang menyedihkan. Apalagi jika dihadapkan dengan kakek-kakek yang berjalan sempoyongan dengan bakul infak disalah satu tangannya. Aduh rasanya ingin memberikan uang sebanyak-banyaknya. Tapi mengertilah bahwa Indonesia butuh kesadaran kita untuk mengubahnya menjadi lebih baik. (*)

Tulis Komentar